When Privacy is no Longer Exist


Beberapa hari lalu saya membaca artikel dari SearchCIO.com yang berjudul “Uber’s New Data Privacy Policy Suggests Privacy is Dead”. Dari judul yang menarik tersebut juga bisa ditebak isinya tentang “pelanggaran” (dulunya..) terhadap privacy data personal pengguna yang kini mulai dipertanyakan. Siapa yang tak tahu aplikasi/layanan Uber? Yups, bisnis yang lagi “hot” diperbincangkan diberbagai media saat ini namun lebih membahas tentang aspek legalitas bisnisnya. Beberapa pihak seperti organda atau dishub menyatakan bahwa Uber tidak berizin alias illegal, sebagaimana “saudaranya” Go-Jek. Maka, layanan yang sudah mendunia ini bakal dicekal di Indonesia karena cukup merusak peta politik eh pemasaran para pengusaha Taxi. Gak ada Uber saja persaingan para sopir Taxi sudah panas. Padahal, sebenarnya konsep Uber ini dari dulu sudah lama ada di Indonesia. Mungkin Anda pernah dengar yang namanya Omprengan atau Taxi plat hitam. Usaha angkutan umum tapi tidak berizin sebagaimana taxi, angkot dan armada publik lainnya. Tapi Organda atau Dishub tidak “seheboh” seperti menghadapi si Uber ini. Mungkin karena “Taxi komunitas” tersebut mengambil market share yang cukup besar sehingga menimbulkan keresahan para pengusaha Taxi.  Ok, kita kembali ke topik… tentang data privacy!

In an economy where many business thrive or wither based on their ability to capture, store, retrieve, curate and mine personal information, it seems our personal data is becoming our greatest asset. The problem: It’s not really our asset.” (searchCIO.com)

Itu lah kalimat awal dalam artikel tersebut. Tentu tidak hanya Uber, berbagai aplikasi seperti Facebook, Instagram, Gmail, Waze, dan sebagainya juga “meminta” akses terhadap data-data personal para penggunanya seperti identitas pribadi, kontak, lokasi, file, photo, dll. Sebenarnya mereka meminta “izin” kepada para pengguna untuk mengakses data tersebut saat kita (pengguna) akan meng-klik tombol install. Tapiii, siapa sih yang membaca dengan detail Terms & Privacy Policy mereka?? 😀

Akses terhadap data-data tersebut tidak hanya sebagai “syarat” agar pengguna bisa menikmati layanannya. Misalnya, agar Waze bisa menunjukkan arah menuju lokasi tertentu yang kita cari, tentunya membutuhkan akses terhadap data lokasi (GPS) kita. Namun, ternyata data itu tidak hanya digunakan dalam rangka memberikan layanan kepada pelanggan ybs, tetapi juga untuk membantu mereka berinovasi, service improvement kepada pelanggan lainnya. Bahkan, dikatakan dalam artikel tersebut bahwa Uber juga mengakses lokasi penggunanya saat smartphone mereka tidak sedang digunakan (Uber di non-aktif) sehingga Uber bisa menyimpan data history perjalanan pengguna meskipun sedang tidak menggunakan layanan mereka. Nah, disinilah mulai perdebatan.. Electronic Privacy Information Center (klo di Indonesia lembaga apa ya?) melakukan protes kepada Federal Trade Commission (Departemen Perdagangan?) bahwa Privacy Policy-nya Uber ini melampaui “kewajaran” sebuah layanan transportasi dalam pengumpulan informasi penggunanya. Tetapi, Uber juga tidak bisa disalahkan karena diawal penyediaan layanannya, konsumen sudah “menyetujui” Policy (walaupun mungkin tidak dibaca dengan detail) dalam akses data pribadinya. Para ahli pun menyarankan agar pengguna Uber diberikan hak untuk tidak memberikan informasi geolokasi yang tepat (opt-out). Namun, Uber tetap masih bisa menghitung perkiraan lokasi pengguna tersebut dari IP address-nya. Artinya, Uber masih memiliki hak untuk mengumpulkan data lokasi pengguna meskipun sudah menolak untuk memberikan akses terhadap info lokasi mereka. Menurut seorang manajer Uber, Katherine Tassi, data lokasi pengguna tersebut digunakan agar Uber lebih mudah menemukan orang-orang yang berada di sekitar pengguna dengan lebih cepat. Jadi, akses info lokasi itu pun sebenarnya ditujukan untuk si pengguna juga agar bisa mendapatkan tumpangan dengan cepat. Hal ini sejalan dengan prinsip “Security berbanding terbalik dengan Productivity”. Mungkin Uber emang melanggar data Security dari penggunanya.. tetapi jika mereka tidak bisa mengakses data lokasi pengguna maka Productivity-nya bisa jadi akan menurun.

Lalu, perdebatan lainnya adalah tentang data value ownership. UUD alias ujung-ujung nya duit 😀

Who has the right to the data and its economic value?”

Menurut Walter Paley, Direktur Marketing SafeLogic, nilai ekonomis suatu informasi menjadi milik pemegangnya, bukan subyek nya… tidak perduli bagaimana ia (pemegang) mendapatkannya. Jadi, data Anda bukanlah milik Anda ketika sudah memberikan hak kepada Uber atau penyedia layanan lainnya untuk mengakses data-data tersebut. Oleh karena itu, berhati-hatilah saat akan menginstal aplikasi atau menggunakan layanan yang “gratis”. Ada udang dibalik batu. Misalnya, aplikasi olah foto seperti FotoRus, BeautyPlus, dan sebagainya… apakah mereka hanya meminta akses ke media/gallery saja? Atau mereka juga meminta akses ke identitas Anda, kontak, sms, dan sebagainya? Kalau iya, maka waspadalah… bisa jadi data personal Anda tersebut digunakan untuk inovasi mereka dalam meningkatkan layanan tersebut atau menghasilkan layanan yang lain.

Dalam artikel tersebut Mark Thiele dari Switch (sebuah data center provider) menyarankan solusi untuk permasalahan ini dengan membuat data exchange antara pelanggan dan perusahaan se-transparan mungkin. Bahkan, bisa jadi memberikan hak kepada pelanggan untuk menentukan nilai dari data pribadi mereka. Misalnya, saat pengguna akan menginstal sebuah aplikasi atau register suatu layanan yang membutuhkan akses ke data mereka, maka ditampilkan peringatan (penawaran) :

Sign here to give your data as payment or pay X$ for use

Bagaimana menurut Anda, cukup adilkah?


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *